Sudah menjadi sebuah keharusan untuk membayarkan hutang orang yang telah meninggal. Namun, permasalahan yang terkadang muncul di masyrakat, khususnya masyarakat Indonesia ialah kurangnya kesadaran akan membayarkan hutang orang yang telah meninggal.
Fenomena seperti ini terjadi ketika seseorang meninggal dan harta waris telah diterima dengan semestinya. Di dalam agama islam, tatacara pembagian harta waris yang sesuai ialah harta waris tidak boleh diwariskan kepada yang berhak sebelum hutang-hutang dari mayit telah lunas. Kenyataan yang terjadi ialah harta waris terlebih dahulu dibagikan sebelum membayarkan hutang si mayit, hingga akhirnya terjadi penundaan dalam membayarkan utang sampai akhirnya hutang dilupakan. Bagaimanakah islam memandang hal ini dan apa ganjaran yang mungkin akan diterima oleh si mayit akibat hutangnya tidak terbayarkan? Berikut pemaparannya
Setiap orang yang meninggal baginya adalah segala yang pernah dikerjakannya. Dia akan menemukan balasan atas setiap perbuatannya, jika dia berbuat baik, maka balasannya akan baik, dan jika buruk, maka balasannya ialah keburukan. Bagi mereka yang ditinggalkan harus terus mendoakan almarhum dan bersedekah atas namanya dengan harapan agar Allah mengasihani almarhum.
Di antara pahala yang dapat sampai kepada seseorang yang sudah meninggal adalah pahala haji dan umrah. Dalam Sahih Bukhari terdapat sebuah hadis dari Ibnu Abbas r.a. tentang seorang perempuan yang berasal dari Juhainah yang mendatangi Rasulullah saw, perempuan itu berkata, “Ibuku pernah bernadzar akan melaksanakan haji, akan tetapi beliau belum sempat melaksanakan haji sampai beliau meninggal. Apakah aku boleh menghajikan beliau?” Rasul berkata, “Ya, berhajilah untuknya. Bukankah engkau juga harus membayar jika ibumu mempunya hutang, kerjakanlah haji demi hak Allah, karena janji pada-Nya lebih patut untuk ditepati”
Orang yang masih hidup tak boleh melakukan shalat sebagai qadha orang yang sudah meninggal, karena hal itu tidak pernah diajarkan dalam islam. Adapun berkenaan dengan puasa, para ulama berelisih pendapat, sebagian berfatwa bahwa siapa yang ketika meninggal masih berhutang puasa, maka walinyalah yang harus menebusnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits di atas, atau dapat juga dibayarkan dengan cara member makan orang miskin sebagai pengganti hutang puasanya.
Membayar hutang mayit dari hartanya hukumnya wajib dan harus dilakukan sebelum hartanya dibagi-bagikan, sebagaimana yang difirmankan Allah swt,
“(Pembagian tersebut di atas) sesudah terpenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”
Jika ahli waris tidak melunasi hutang si mayit, maka perbuatannya adalah haram dan dia akan memikul dosa atas hutang tersebut, sedangkan si mayit sudah tidak terbebani apa-apa lagi jika seandainya ketika berhutang dia tidak pernah berjanji untuk melunasinya sebelum mati yang tidak sanggup dilunasi sampai dia meninggal.
Pada masa awal islam, Rasulullah saw tidak sudi menshalatkan jenazah yang meninggal dan masih memiliki hutang. Hal ini sebagai peringatan bagi umat islam kala itu untuk tidak meremehkan pembayaran hutang. Beliau hanya memerintahkan para sahabat beliau untuk menshalatinya. Ketika Allah memberikan banyak kemenangan kepada Rasulullah dan mulai banyak harta rampasan perang. Rasulullah saw mulai menshalati jenazah yang masih memiliki hutang, beliau juga bersedia untuk melunasi hutang jenazah. Beliau bersabdah:
“Tidak ada seorang mukmin pun, kecuali aku adalah menjadi wali baginya di dunia dan di akhirat. Atau kalian boleh mengatakan bahwa Nabi lebih berhak atas diri orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri. Jika ada seorang mukmin yang meninggal dan dia meninggalkan harta, maka bagikanlah harta tersebut kepada ahli warisnya. Dan jika ada seorang mukmin yang wafat dan masih memiliki hutang atau meninggalkan keluarga yang kekurangan, maka hendaknya keluarganya menghadap padaku, karena aku adalah walinya”
Semoga bermanfaat…
Kumpulan Artikel Islami
Published:
2013-04-11T23:04:00-07:00
Title:Soal Hutang Orang yang Telah Meninggal, Bagaimana Hukumnya?
Rating:
5 On
22 reviews